15 Januari 2009

LANGKAH-LANGKAH DALAM KONSELING

konseling merupakan proses pemberian bantuan yang diberikan oleh konselor kepada konseli agar konseli dapat menentukan pilihan-pilihan sendiri dalam menghadapi masalah dalam rangka mengembangkan segenap potensi yang dimilikinya untuk dapat menjalani hidupnya secara efektif. Dalam prosesnya, pemberian bantuan yang diberikan oleh koselor menempuh langkah-langkah tertentu, dimana antara langkah yang satu dengan langkah yang lain merupakan suatu pertalian yang saling menentukan keberhasilan dari proses konseling itu sendiri.

Proses bantuan yang diberikan konselor dalam proses konselingnya, dapat dibagi menjadi enam langkah, yaitu: pengumpulan informasi, evaluasi, umpan balik, persetujuan konseling, mengadakan perubahan tingkah laku dan penghentian.

Langkah 1: Mengumpulkan Informasi (Ghatering Information)

Semakin lengkap informasi yang dimiliki konselor, akan semakin valid evaluasi yang mereka lakukan, semakin akurat umpan balik mereka, dan semakin serasi rekomendasi mereka. Karena itu, pengumpulan informasi ini sangat membantu bagi konselor sehingga ia harus mengenali berbagai macam informasi yang harus didengar. Bagan berikut mempresentasikan sumber informasi utama bagi konselor:

Garis A – B, menggambarkan dimensi waktu. Informasi sekitar calon klien sebelum mendapatkan bantuan digunakan oleh konselor untuk memahami ke mana ia akan diarahkan. Informasi sekitar keadaan yang ada pada calon sekarang ini mengindikasikan seberapa baik fungsi kepribadiannya, dan informasi tentang masa depan yang diceritakan menggambarkan apa yang ia inginkan. Informasi-informasi tersebut oleh konselor dapat digunakan untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai “siapa” si calon klien itu dan mengapa ia memerlukan bantuan.

Garis C – D, merefleksikan pentingnya mengetahui kedua jenis informasi intrapsychic dan interpersonal. Informasi tentang intrapsychic berisi pelajaran tentang persepsi calon klien terhadap realita; konflik dalam dirinya dan bagaimana ia meng-handle permasalahan itu; hubungan antara siapa calon klien itu, bagaimana persepsinya tentang dirinya dan bagaimana harapan dia mengenai persepsi orang lain terhadap dia; termasuk juga kepercayaannya, nilai dan harapannya. Informasi interpersonal meliputi bagaimana dinamisasi hubungan calon klien itu dengan orang lain, apakah hubungan itu memuaskan dia, juga memuaskan bagi orang yang berhubungan dengannya.

Garis E – F, menandakan apa yang dipikir dan rasakan tentang dirinya sendiri, orang lain dan kejadian-kejadian yang terkait dengan itu. Hal ini tidak hanya penting untuk mengetahui isi pikiran dan perasaan calon klien, tetapi juga untuk mengenali konflik yang mungkin terjadi.

1. Pertanyaan

Proses pengumpulan data merupakan langkah yang sangat penting dalam konseling. Oleh karena itu konselor harus bekerja keras dalam hal ini. Namun demikian, tahapan ini sedapat mungkin dikerjakan dalam waktu yang relative singkat. Untuk mendapatkan informasi-informasi yang diperlukan konselor, dapat digali lewat pertanyaan-pertanyaan eksplorasi.

2. Interaksi dan Reaksi

Informasi tentang calon klien dalam proses konseling memegang peranan yang sangat penting. Itulah sebabnya data atau informasi awal yang didapat tentang calon klien tidak boleh hanya berdasarkan desas-desus, tapi harus melalui proses penggalihan yang akurat. Proses yang disarankan dalam kaitan ini adalah dengan melakukan pengamatan secara langsung, yang disebut dengan interaksi dan reaksi.

Interaksi mengandung dua makna, yaitu menantang (challenging) dan berhubungan dengan penuh kehangatan (relating warmly). Challenging (menantang) diartikan sebagai upaya menyelidiki calon klien dengan cara yang lembut, bersifat sementara. Ia tidak diartikan dengan melakukan konfrontasi. Sementara itu, Relating warmly (menjalin kehangatan) dimaknai dengan komunikasi yang alami dan apa adanya, yaitu berhubungan dengan calon klien dengan senyum, memberikan harapan dan penghormatan yang sesuai.

Reaksi, merupakan cara kedua untuk mendapatkan informasi secara langsung. Reaksi dalam kaitan ini diartikan sebagai tampilnya konselor dengan penyesuaian yang sempurna dengan reaksinya terhadap calon klien. Dalam proses konseling reaksi diberikan dengan cara memberikan “serangan” terhadap perasaan klien, dari sini maka klien bisa terbuka.

Langkah 2: Evaluasi

Ketika pengumpulan informasi dipandang hampir mendekati selesai (cukup), maka konselor mulai melakukan evaluasi terhadap informasi tersebut. Untuk melakukan evaluasi data tersebut menyangkut lima persoalan :

1. Gejala

Gejala adalah tanda-tanda yang mengindikasikan seseorang mengalami stress. Secara akademik, terdapat dua macam gejala, yang dalam katagori diagnostic formal (DSM of American Psychiatric Association) dan diagnostic non formal. Gejala-gejala umum yang dapat dijadikan tanda seseorang mengalami gangguan adalah depresi, ketakutan, obsesi, tertekan, penyimpangan kepribadian (antisocial dan pasif-agresif), disfungsi seksual (impotensi, frigiditas), penyimpangan seksual (penganiayaan anak-anak, pemerkosaa). Sedangkan beberapa contoh gejala yang tidak termasuk dalam katagori diagnostic tradisional adalah ketakutan yang luar biasa, kemarahan, rasa bersalah, kebingungan, frustasi, penundaan, merasa kekurangan, kelelahan, kecemburuan, konflik interpersonal, inefisiensi kerja, kebingungan spiritual.

2. Penyebab gejala

Penyebab munculnya gejala persoalan psikologis yang memerlukan layanan konseling disebabkan oleh tidak terpenuhinya kebutuhan dasar psikologis itu sendiri. Adapun kebutuhan dasar psikologis dimaksud adalah kebutuhan akan rasa aman, cinta, penghargaan, keterpenuhan, stimulasi, kebebasan, kesenangan, dan tujuan (cita-cita). Kebutuhan dasar tersebut dapat terhalang pemenuhannya dengan empat macam sebab, yaitu :

a. Terjadinya kerusakan psikologis secara obyektif (kehilangan orang yang sangat dicintai, perceraian, putus cinta, dipenjara).

b. Akibat dari berhubungan dengan orang yang sifat dan tingkah lakunyanya bertentangan dengan kebutuhan dasarnya (misalnya perempuan yang kawin dengan laki-laki yang temperamen dan kasar).

c. Berhubungan dengan orang lain tetapi tidak mendapatkan apa yang dikehendaki dari maksud dari hubungan itu (misalnya seorang laki-laki yang kasar ingin menjalin hubungan dengan seorang perempuan, tapi ditolaknya)

d. Kegagalan dalam menjalin hubungan secara dinamis dengan diri sendiri yang berakhir dengan tidak tercapainya akan pemenuhan kebutuhan (misalnya perempuan yang terlalu tinggi ekspektasi atas dirinya, dimana apa yang dikejarnya justru merusak harapannya)

Sebagai gambaran akan hubungan dari gejala, stress dan penyebab stress, misalnya, dapat dilihat dari bagan berikut :

Bagan: Hubungan Gejala dengan stres

3. Menghilangkan gejala

Untuk dapat menghilangkan gejala psikologis yang timbul pada diri seseorang tergantung dari jenis gejala yang muncul. Jika yang terjadi adalah kerusakan suasana psikologis akibat kejadian tertentu, maka dilakukan dengan merestruktur cara berfikirnya, memberikan kesempatan untuk mengungkapkan segala harapannya dan menentramkan perasaan secara bertahap, memberikan kasih sayang. Jika gejala yang terjadi adalah tertolaknya keinginan dari hubungan yang diharapkan dari orang lain, bisa dilakukan dengan cara mengubah persepsi yang mampu meng-handle situasi itu atau menarik orang tersebut dari situasi itu. Jika gejalanya adalah hubungan maladaptive dengan orang lain, maka bisa dibantu dengan cara mengembangkan kemampuan sosialnya atau dengan mengubah pengharapan diri yang lebih baik. Sedangkan jika gejalanya adalah prilaku maladaptive dengan diri sendiri, yang bersangkutan bias disolasi, dengan harapan mampu berfikir untuk menemukan titik suksesnya dalam mengembangkan kreativitasnya.

4. Kesiapan konseling

Tidak semua orang yang merasa memerlukan konseling layak menjadi calon klien. Berikut hal-hal yang dapat dipertimbangkan oleh konselor dalam kaitan ini:

a. Orang yang mempunyai responsibilitas atas problem mereka merupakan calon klien yang lebih baik ketimbang orang yang selalu menyalahkan orang lain.

b. Orang yang berusaha mengerti akan perasaannya merupakan kandidat klien yang lebih baik ketimbang orang ingin lebih baik tapi tanpa mau merubah prilaku maladaptif mereka.

c. Orang yang mempunyai motivasi intrinsik tinggi untuk berubah lebih baik ketimbang mereka yang dengan motivasi intrinsik lemah atau karena pengaruh dari luar.

d. Orang yang mampu mengendalikan suasana psikologisnya merupakan calon klien yang baik ketimbang mereka yang tidak.

e. Orang yang didukung oleh lingkungannya lebih baik ketimbang yang tidak didukung.

f. Orang yang mudah diajak berkomunikasi lebih baik ketimbang orang yang selalu tertutup.

Singkat kata, bahwa konseling bisa berjalan dengan sempurna jika masing-masing sudah mempunyai kesiapan untuk menjalin hubungan ini. Itulah sebabnya, kondisi kesiapan ini harus dipersiapkan secermat mungkin agar proses konseling yang dilakukan bisa berjalan efektif.

5. Kecocokan konselor

Tidak semua konselor dapat membantu orang yang memerlukan bantuan konseling. Konselor adalah manusia biasa yang tak terlepas dari segala kelemahan, penyimpangan, ketakutan, kemarahan, dan nilai-nilai tertentu. Oleh karena itu ia berhak untuk memilih wilayah pekerjaan yang sekiranya membuat mereka bisa membantu klien secara penuh. Hal ini dimungkinkan, karena boleh jadi ada tipe konselor yang sulit bekerja dengan calon klien yang terkesan memusuhi, sok kuasa dan terlalu menuntut. Konselor lain mungkin sulit bekerja dengan orang yang sangat pasif, terlalu penurut, manja dan sangat tergantung. Bisa jadi juga ada konselor yang mengalami kesulitan untuk membantu orang yang tersangkut dengan masalah homoseksual, berkecenderungan sek dengan anak, pemukul anak, alkoholisme, pecandu obat terlarang, aborsi, pelaku sek komersial, pemerkosaan dan sebagainya.

Berikut adalah beberapa tanggungjawab etikal dan profesional untuk menyaring orang-orang yang akan dikonseling. Secara berurutan, seorang konselor bisa menentukan alasan yang tepat bagi konseling yang dilakukannya layak sukses; yaitu jika konselor dapat bekerja secara efektif dengan calon klien, dan jika waktu, energi, kesukaran, dan investasi keuangannya menjadi bermanfaat. Jika salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi, maka akan terjadi kendala yang serius.

Langkah 3: Umpan Balik (Feedback)

Umpan balik berkaitan dengan konselor yang berbagi informasi dengan orang yang mencari bantuan. Kegunaannya adalah untuk memberikan informasi yang cukup sehingga memungkinkan orang dapat membuat keputusan untuk memulai program konseling. Ada empat prinsip yang dapat membantu konselor mengambil tindakan bahwa umpan balik tersebut berarti dan bermanfaat, yaitu:

1. Sifat informasi

Informasi dapat disampaikan dengan jelas (clearly), ringkas (succinctly), konkrit (concretely), dan hati-hati (prudently). “Jelas” artinya sederhana, disampaikan dengan bahasa yang umum (jargon-free language). “Ringkas”, artinya singkat tanpa analogi dan deskripsi yang bertele-tele. Umpan balik, tanpa menyinggung orang, dapat diberikan dalam satu waktu. “Konkrit” (concretely) yaitu konsep yang mudah dipahami dan bersifat membumi (down-to-earth). “Hati-hati” (prudently) artinya bahwa konselor menanamkan rasa perhatian tanpa menimbulkan rasa khawatir. Sikap membantu berarti bahwa “anda mempunyai beberapa problem yang membutuhkan perhatian, namun ada satu yang dapat anda kerjakan di antaranya.”

2. Kekuatan dan kelemahan

Umpan balik mungkin mencakup kekuatan dan kelemahan. Biasanya lebih baik diawali dengan kekuatan dan diakhiri dengan kelemahan. Jika langkahnya dibalik, orang mungkin jadi defensif atau akan kehilangan semangat yang berakibat dia tidak akan mendfengarkan hal-hal penting dari pembahasan masalah. Pilihan lainnya adalah membaurkan kekuatan dan kelemahan.

3. Pertanyaan menarik

Orang dapat diajak untuk bertanya selama atau setelah umpan balik. Pertanyaan-pertanyaan dapat dijawab secara langsung dengan sportif. Kadang-kadang orang bertanya dengan pertanyaan yang dapat mencegah proses umpan bailk. Untuk kasus seperti ini, orang tersebut diminta untuk menunda pertanyaannya sampai akhir pembicaraan.

4. Rekomendasi

Setelah menyampaikan umpan balik, konselor membuat rekomendasi. Konselor dapat menjelaskan bahwa rekomendasi tersebut bukan pesanan (main-main) tetapi penting dan sungguh-sungguh. Biasanya rekomendasi tersebut adalah sebagai berikut:

a. Konseling dilanjutkan setiap kurang atau lebih dari sekali dalam seminggu, tergantung pada pentingnya masalah.

b. Lanjutkan konseling individu atau konseling kelompok, konseling pernikahan atau konseling keluarga atau gabungan konseling perorangan dengan jenis lainnya.

c. Konseling dilanjutkan namun dengan konselor yang lain. Hal ini dilakukan jika konselor merasa bahwa konselor yang lain akan lebih baik, karena konflik pribadi atau karena masalah pribadi yang memerlukan bantuan dari konselor di luar bidang keahliannya. Manakala rekomendasi telah dibuat, maka harus dilakukan dengan berhati-hati tanpa memberitahukannya kepada orang yang ditolak.

d. Anjurkan jenis intervensi yang sesuai, misalnya konseling mengenai penyalahgunaan obat (zat), konseling pengawasan berat badan, konseling membaca atau konsultasi kesehatan jiwa, kelompok pendukung, atau masalah keagamaan.

e. Dianjurkan jangan melibatkan diri terlalu jauh karena kesulitan orang tersebut cukup normal dan merupakan bagian dari perkembangan dan pertumbuhan orang bersangkutan.

f. Dianjurkan jangan melibatkan diri terlalu jauh karena sebagai hasil dari konseling pada tahap tertentu sudah cukup, yang bersangkutan sudah mempunyai wawasan yang memadai dan dan ia didorong untuk menangani masalahnya sendiri tanpa bantuan orang lain.

g. Jangan intervensi terlalu jauh karena walaupun orang tersebut mempunyai masalah yang memerlukan konseling, yang bersangkutan secara psikologis belum siap diberikan konseling. Orang tersebut tidak mungkin diberikan tekanan yang cukup. Motivasi dan daya terimanya tidak cukup untuk menerima konseling yang efektif. Konselor dapat melatih ketidak peduliannya untuk memberitahukan bahwa situasinya sudah tidak ada harapan. Perbedaan antara “belum siap” dan “tidak ada harapan” dapat dijelaskan, disertai dengan mengundang secara terbuka untuk kembali pada waktu mendatang jika orang tersebut berkenan. Di lain pihak jangan diarahkan bahwa mereka tidak membutuhkan konseling.

Tahap 4: Kesepakatan Konseling

Walaupun konseling telah dilakukan dalam tiga tahap di atas, konselor dan orang yang dalam proses konseling lebih banyak memiliki informasi daripada ketika mereka memulainya. Gunakan informasi ini sebagai kerangka acuan, konselor dan orang yang dikonseling menyepakati empat isu menyangkut: aspek praktis konseling, peranan, harapan, dan tujuan konseling.

1. Aspek praktis

Aspek ini meliputi berapa kali pertemuan dilakukan dengan konselor, lamanya sesi pertemuan, kebijakan penundaan dan pembatalan perjanjian serta prosedur pengaturannya. Jika tidak ada yang perlu diubah berdasarkan informasi yang diperoleh dari tiga tahap awal pertama, maka ada baiknya memfokuskannya pada kepentingannya. Namun demikian, kadang-kadang konselor sudah mempelajari informasi menyebabkannya menyesuaikan beberapa aspek praktis untuk mencocokkannnya dengan orang dan situasi tertentu. Bila hal seperti ini terjadi, konselor dapat menjelaskan perubahan dan alasannya kepada mereka.

2. Peran

Bagian kedua dari kesepakatan berkenaan dengan peran yang diharapkan. Peran tertentu bergantung pada konselor, orang yang sedang diberi konseling, dan situasi. Misalnya konselor akan menjelaskan bahwa perannya akan sama selama tiga tahap awal atau lebih pasif, reflektif, konfrontatif, langsung, mendua, bertanya, diam, aktif, atau mendengarkan. Ada baiknya bagi konselor untuk memberikan penjelasan singkat bagaimana mereka akan merasakan sifat perannya akan memudahkan pertumbuhan.

Ketika konselor dan orang yang sedang konseling memahami dan menyepakati bahwa peran mereka cukup tepat dan akan membatu pertumbuhan, mereka berada dalam posisi terbaik dalam bekerja sebagai sebuah tim yang serasi.

3. Harapan

Harapan dapat menjadi lebih jelas dibandingkan dengan ketiga tahapan awal di atas karena masing-masing pihak mempunyai pemahaman yang lebih baik terhadap situasi. Konselor membagi harapannya termasuk tanggung jawab dalam konseling. Isu ini berkaitan dengan kejujuran, membuat usaha bersama untuk mencapai tujuan konseling, menempatkan prioritas utama konseling, mengerjakan tugas-tugas rumah, membahas konseling dengan pihak lain, dan memandang konseling sebagai pengalaman seminggu dari pada kunjungan 50 menit dalam seminggu.

Orang yang konseling dapat juga berbagi harapannya pada konselor. Orang tersebut dapat mengatakan pada konselor apa yang yang berguna dan apa yang tidak berguna. Biasanya pada tahap awal konseling, orang tidak dalam posisi untuk menyatakan dengan jelas bagaimana konselor dapat membantu. Akibatnya konselor boleh jadi membantu orang bersangkutan sepanjang hari dan memintanya untuk menjaga penilaian konselor terhadap pertumbuhan dan perubahan harapan sebagai kemajuan konseling.

4. Tujuan

Sebagai hasil dari tiga tahapan pertama, orang yang sedang konseling dan konselor mempunyai gambaran yang jelas tentang masalah dan kemungkinan solusinya. Tujuan konseling mungkin merupakan bagian terpenting karena mengikat semua proses. Tujuan konseling harus mempunyai sifat-sifat tertentu.

Pertama, tujuan harus spesifik dan dapat diukur. Misalnya tujuan yang disepakati adalah bahwa seseorang mengatasi rasa takutnya untuk mendapatkan pekerjaan. Tujuan ini bersifat spesifik karena jelas targetnya atau arahnya, dan tujuan tersebut dapat diukur karena tahap mencapai tujuan bias direncanakan.

Kedua, realistis. Tujuan konseling biasanya dibatasi oleh potensi orang yang konseling dan dibatasi oleh lingkungannya. Misalnya dua orang perempuan usia 38 tahun ingin masuk sekolah hukum. Mereka mencoba konseling agar dapat membantu mereka melakukan perubahan secara psikologis untuk melaksanakannya. Salah seorang dari mereka berstatus cerai, cerdas, dan enerjik. Dia bekerja sebagai seorang panitera dan merasa bahwa dia memiliki motivasi, keahlian, dan pemahaman bagaimana menjadi seorang ahli hukum dan menganggap tujuannya menjadi ahli hukum adalah realistis Dia melakukan konseling karena dia tidak yakin jika dia meninggalkan pekerjaannya yang sekarang, apakah dia akan mengorbankan sekolah hukum dan karir sebagai pengacara, dan apakah hal tersebut akan merampas kasih sayang yang masih dibutuhkan dua anak remajanya. Dia mengetahui apa yang diinginkannya namun dia tidak yakin bahwa melakukannya apakah merupakan pilihan yang bijak.

Perempuan yang kedua mempunyai suami yang tidak menginginkan isterinya ikut sekolah hukum. Suaminya menghendaki agar isterinya di rumah mendidik empat anaknya yang masih bersekolah, dan mengharuskannya mencari pinjaman untuk membiayai sekolah hukum yang dikehendaki isterinya. Perempuan tersebut tidak begitu pintar dan merasa tertekan. Pikiran untuk belajar di sekolah hukum akan membantu mengtasi deperesinya. Dia tidak mempunyai pengetahuan tentang hukum atau karir di bidang hukum tetapi ide itu muncul ketika ia membaca tentang perempuan lain yang kehidupannya berubah (lebih baik) setelah menjadi ahli hukum. Dia melakukan konseling karena dia ingin belajar bagaimana dia dapat belajar di sekolah hukum tetapi suaminya tetap senang dan anak-anaknya sehat. Tak dapat dipungkiri bahwa tujuannya ini dapat diperoleh melalui konseling, walaupun pada dasarnya tujuannya sama seperti perempuan pertama tadi.

Aspek kedua dari tujuan yang realistic adalah bahwa sedikit diantaranya mempunyai sifat mendapatkan semuanya atau tidak sama sekali. Misalnya, seseorang menginginkan konseling untuk membantunya agar dapat bekerja lebih efektif. Menurutnya kerja yang lebih efektif adalah meningkatkan efektifitas dengan 20, 50, atau 70%. Adalah tidak realistik mengharapkan konseling untuk memenuhinya.

Ketiga tujuan harus layak secara psikologis. Sebagaian orang mempunyai tujuan sejalan dengan pertumbuhan psikologis. Mereka ingin menjadi lebih tegas (assertive), mandiri (autonomous), dan percaya diri (confident), tidak mudah marah, takut, dan bingung. Sementara yang lainnya melakukan konseling untuk mencari keseimbangan bukan sehat secara psikologis. Misalnya, seseorang ingin belajar bertahan menghadapi situasi kerja yang keras, meninggalkan keluargan yang dapat mencedarai dirinya atau orang lain, atau memulai proyek yang dia sendiri tidak siap dan dihukum kalau gagal. Karena hal ini merupakan bagian dari konseling untuk memilih sendiri tujuannya, merupakan pertanggungan jawab konselor untuk tidak bekerjasama dalam perilaku destruktif.

Keempat, tujuan biasanya bersifat hirarkis (bertahap/bertingkat). Sebagian orang hanya mempunyai satu tujuan dalam konseling. Perempuan yang ingin sekolah hukum yang dicontohkan di atas adalah merupakan salah satu contohnya. Akan tetapi banyak orang yang mempunyai beberapa tujuan. Misalnya, seseorang yang menyusun tujuannya sebagai berikut: secara seksual lebih nyaman, berganti pekerjaan, mengurangi konflik dengan orang tua, memiliki kembali semangat beragama, menjalin pacaran dengan lebih baik, dan menurunkan berat badan seberat 30 pon. Daftar tujuan tersebut tidak dengan sendirinya menunjukkan adanya hirarkis. Jika konselor telah mengenal orang tersebut lebih baik, maka akan terlihat lebih jelas bahwa tujuan tersebut tidak dapat disusun secara berurutan. Kemungkinan tekanan pekerjaan menyebabkan kerugian, dan ketika tekanannya telah berkurang, dia tidak dalam posisi untuk mengerjakan tujuan lainnya. Manakala tekanan telah berkurang, langkah selanjutnya adalah memberikan nasehat untuk mengawasi program mengurangi berat badan. Apabila berat badan telah berkurang langkah berikutnya adalah menyelidiki penyebab perasaan kebingungannya dalam masalah seksualnya atau ketidaknyamanan dirinya. Jika telah ditemukan jalan keluarnya, langkah selanjutnya adalah mencari penyebab mengapa ia gelisah dalam berpacaran. Manakala rasa gelisaha dalam berpacaran dapat dikendalikan, langkah berikutnya adalah bagaimana memahami konflik dia dengan orangtuanya. Apabila semuanya dapat diatasi, kemungkinan dia akan cukup tenang untuk dapat bekerja dalam keraguan relijiusnya dan konflik.

Kadang-kadang ketika dua atau tiga tujuan pertama tercapai, sisanya mereka menjaga dirinya sendiri. Misalnya, pada kasus di atas, konflik orang tersebut dengan orangtuanya dan konflik relijiusnya akan terpecahkan sebagai dampak dari tercapainya tujuan awal.

Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam menempatkan tujuan dalam hirarki. Pertama, konselor harus berada di tengah-tengah di antara semua materi dalam sesi konseling kecuali yang berhubungan langsung dengan sasaran tujuan sekarang dan membiarkan orang bersangkutan mencoba satu sasaran setelah sasaran lainnya.

Kedua, tujuan hirarki yang sudah disepakati harus dirancang secara ketat. Bila konselor memahami orang tersebut lebih dalam, maka hirarki harus disusun. Pada kasus di atas, konselor harus menemukan pemecahan konflik relijiusnya, sehingga tidak perlu ada tindakan yang mengarah pada tujuan lainnya. Perubahan hirarki perlu dilakukan bila orang yang bersangkutan dan konselor bekerja keras dalam mencapai suatu subtujuan dengan hasil yang tidak memuaskan. Hal ini menun jukkan bahwa tujuan lain dalam hirarki harus dipilah-pilah.

Kelima, tujuan merupakan milik orang konseling. Kadang-kadang terutama ketika orang tujuan yang umum, abstrak, atau tidak jelas dalam konseling, konselor dapat terjebak dalam mengkonkritkan dan mengaturnya. Misalnya, seorang perempuan mengatakan dia tertekan tetapi tidak mengetahui padahal dia mempunyai suami yang tampan, anak, dan rumah, sebagaimana yang diinginkan setiap perempuan. Setelah beberapa usaha mencari penyebab dia tertekan tidak berhasil, konselor harus memutuskan mengapa dia tertekan: dia mengingkari kekecewaannya atas pernikahannya yang membosankan; dia baru mengetahui bahwa suaminya tidak mengizinkannya kembali bekerja; dia merasa bersalah telah mengirimkan ayahnya ke rumah sakit; dan dia menekan hasrat seksualnya karena tidak tempat untuk bertemu.

Keenam, tujuan harus selalu dievaluasi. Maksud tujuan konseling sama dengan maksud setiap jenis sasaran. Setelah berupaya beberapa kali mencapai sasaran, maka sudah seharusnya memeriksa untuk mengetahui seberapa berhasilkah upaya yang dilakukan.

Karena tujuan bersifat spesifik dan dapat diukur, maka tidak terlalu sulit untuk mengukur kemajuannya. Bila konselor dan orang yang konseling sepakat bahwa kemajuannya sudah tepat dan sesuai jadwal, maka hal itu akan memberikan rasa percaya diri dan merupakan prestasi yang akan menjadi momentum bagi penyelidikan mereka. Jika konselor dan orang yang konseling menyimpang dari sasaran tetapi kemajuannya sangat lambat, maka mereka dapat mengajukan pertanyaan seperti berikut: Bagaimana kondisi pada pertemuan awal? Misalnya, seseorang membutuhkan waktu lebih lama untuk percaya konselor sebelum mengarah pada tujuan. Apakah ada pertentangan mengenai tujuan manakala tujuan akan menjadi kenyataan? Mungkin seseorang menjadi kurang percaya diri sehingga menganggap perceraian merupakan jalan terbaik baginya. Pada kasus tertentu lebih baik memperhatikan sasaran awal dan dalam interval waktu yang pendek untuk melihat jalur konseling yang diambil dari pada menganggap konseling telah sesuai.

Tahap 5: Pengubahan Tingkah Laku

Terdapat sepuluh situasi yang sering dihadapi konselor saat membantu konseli untuk mengubah perilakunya. Kesepuluh situasi tersebut meliputi :

1. Fokus pada tanggung jawab

Seorang konseli sering melihat konselor sebagai arsitek psikologis yang berperan untuk memberitahukan siapa dirinya, apa masalahnya, serta bagaimana cara memecahkan masalahnya. Apabila konselor terjebak dalam peran yang demikian, maka konselor akan dipaksa untuk mengambil alih tanggung jawab kehidupan konseli.

Peran konselor bukanlah menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, namun justru menyediakan lingkungan dan hubungan yang kondusif untuk membantu pertumbuhan pemahaman diri konseli dan keberanian untuk mengubah setiap jawaban pertanyaan tersebut ke dalam bentuk praktis. Dengan kata lain, salah satu tujuan umum konseling adalah membantu seseorang menjadi konselor bagi dirinya sendiri.

2. Pencarian dalam diri (Inward searching)

Konseli sering menganggap bahwa sumber permasalahan dan cara memecahkan masalah berada di luar dirinya. Namun sering kali pemecahan masalah justru berada di dalam diri konseli itu sendiri.

3. Mendayagunakan pemahaman diri

Pemahaman diri yang didapat melalui pencarian dalam diri akan membawa konseli ke keadaan psikologis yang berimbang, yang dibutuhkan untuk mengurangi bahkan mengatasi permasalahan psikologis yang timbul. Pemahaman akan diri juga akan menjadi cetak biru dalam perubahan perilaku dan pertumbuhan kepribadian secara maksimal.

4. Pencerminan

Konselor bertindak sebagai cermin dimana konseli dapat melihat diri mereka sendiri. Terdapat dua cara dalam pencerminan yaitu intrapsikis dan interpersonal.

Intrapsikis berarti konselor merefleksikan kembali diri konseli sehingga konseli dapat membuat perubahan tingkah laku yang tepat. Proses ini penting karena sering konseli tidak memiliki gambaran yang lengkap dan jelas tentang siapa dirinya yang mengakibatkan konseli berperilaku secara tidak tepat. Jika konseli memiliki gambaran yang jelas tentang dirinya, maka konseli berada dalam posisi untuk membuat perubahan yang berarti.

Sedangkan pencerminan interpersonal menunjukkan peran konselor untuk merefleksikan dan menunjukkan kepada konseli, bagaimana reaksi orang lain apabila konseli berperilaku tertentu.

5. Pengkonfrontasian

Seorang konselor mungkin akan melihat adanya kesenjangan dalam perilaku atau gaya hidup konseli. Pengkonfrontasian bersifat lebih asertif dan berfokus pada motivasi-motivasi konseli yang lebih dalam dan perilaku-perilaku yang bertolakbelakang. Pengkonfrontasian sebaiknya dilakukan saat konseli telah memiliki pemahaman akan dirinya.

6. Pemberian dukungan

Konselor memiliki peran untuk meyakinkan, memberikan dorongan positif serta menunjukkan aspek-aspek positif dari suatu situasi yang menimbulkan kecemasan. Namun dalam pemberian dukungan, konselor harus berhati-hati. Daripada sekedar menyatakan bahwa konselor yakin setiap situasi akan berakhir baik, yang tidak memberikan keyakinan positif, konselor sebaiknya mengatakan bahwa konselor dan konseli akan berusaha sebaik-baiknya untuk menyelesaikan masalah.

7. Reverse shaping

Reverse shaping terjadi jika dalam hubungan konseling, konseli baik secara sadar ataupun tidak, justru membentuk perilaku konselor. Konselor yang berperilaku dengan cara yang menyenangkan konseli, akan dihargai dengan cara konseli tersebut menunjukkan bukti akan adanya pertumbuhan diri. Sementara itu jika seorang konselor tidak disukai konseli, maka konseli dapat menolak bahkan menyerang konselor. Menghadapi situasi demikian sebaiknya konselor tetap berfokus pada tujuan konseling serta mengabaikan tekanan dari konseli.

8. Transference (Pemindahan)

Pemindahan menunjukkan bagaimana konseli bereaksi terhadap konselor. Pemindahan sering dipengaruhi oleh hubungan-hubungan yang pernah terjadi antara konseli dengan orang lain di masa lalu. Cara konselor memandang, berbicara, duduk, berpikir menunjukkan emosi, dan nilai-nilai konselor yang dapat memicu terjadinya reaksi pemindahan yang bersifat positif maupun negative.

9. Countertransference (Pemindahan balasan)

Countertransference berbentuk reaksi-reaksi yang tidak tepat oleh konselor terhadap perilaku konseli. Sama dengan transference, countertransference dapat bersifat positif maupun negative.

10. Interpretasi

Tujuan dari interpretasi adalah meningkatkan pengetahuan diri. Interpretasi merupakan proses menyingkap informasi yang bahkan tidak diketahui oleh konseli itu sendiri, dimana informasi-informasi tersebut terletak pada alam tak sadar, dari konseli.

Proses interpretasi sering dianggap sebagai ancaman bagi konseli, maka informasi-informasi yang ditahan tersebut, biasanya merupakan informasi yang tidak menyenangkan sehingga seringkali konseli menolak proses interpretasi.

Tahap 6: Terminasi

Tahap terminasi merupakan tahap untuk mengakhiri sesi-sesi konseling. Tahap terminasi ini dilakukan apabila konseli telah dapat secara bertanggungjawab menyelesaikan permasalahannya atau dapat tumbuh sebagai seseorang dengan kepribadian yang lebih baik. Terminasi tidak berarti proses konseling sudah selesai. Proses terminasi dapat dilalui dengan mulai mengurangi jadwal sesi konseling, secara beransur-ansur sampai konseli betul-betul menjadi individu yang mandiri dan bertanggung jawab terhadap perilakunya sendiri. Wa-lLahu a’lamu bi al-Shawab.

KONSEP DASAR BIMBINGAN DAN KONSELING

Pprofesi konselor, merupakan profesi yang kurang populer di Indonesia, lebih-lebih bagi masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan. Ketidakpopuleran ini terjadi lebih dikarenakan oleh kecenderungan orientasi kehidupan masyarakat marginal yang bersifat fisik-pragmatik. Akan tetapi, seiring dengan perkembangan jangkauan informasi dan teknologi, masayarakat mulai merasakan pentingnya profesi ini. Ada beberapa alasan yang mempengaruhi mengapa profesi ini menjadi penting, yaitu latar belakang filosofis, psikologis, sosial budaya dan ilmu pengetahuan dan teknologi, demokratisasi dalam pendidikan, serta perluasan program pendidikan.

Secara filosofis, filsafat humanisme sangat signifikan dalam mendorong lahirnya profesi bimbingan dan konseling. Filsafat Humanisme meyakini, bahwa manusia mempunyai potensi untuk dapat dikembangkan secara optimal. Dengan bimbingan yang memadai, setiap individu akan menjadi sosok yang optimal, yaitu individu yang mampu mencapai tingkat perkembangan tertingginya. Dengan berkembanganya setiap individu yang ada dalam masyarakat, dengan sendiri akan terbentuk suatu tatanan masyarakat yang berkembang juga. Jadi perkembangan masyarakat ideal akan terbentuk manakala individu-individu anggota masyarakat tersebut telah mampu mencapai kondisi diri yang ideal juga.

Tilikan dari sudut pandang psikologis dapat dilihat dari sisi perkembangan manusia yang bersifat unik. Tumbuh kembang yang dialami manusia disebut unik karena dalam prosesnya berbeda antara individu yang satu dengan individu yang lain. Perbedaan ini kadang kala berakibat pada munculnya konflik dengan lingkungan, padahal, setiap individu mempunyai hak yang sama untuk menjalani proses tumbuh kembangnya sesuai dengan keunikan dan potensi yang dimilikinya. Dalam kaitan ini, kehadiran konselor dan pembimbing dapat menjadi mediator untuk menjaga hubungan baik antara individu dan lingkungannya, bahkan sebagai katalisator yang mampu mempercepat proses tumbuh kembang tersebut agar lebih maksimal dan optimal.

Kehidupan sosial-budaya masyarakat terus berubah sesuai dengan tingkat perubahan yang dicapainya masing-masing. Perubahan kehidupan sosial-budaya ini berakibat pada semakin terbukanya ruang gerak setiap individu untuk melakukan kontak dengan sistem tatanan sosial budaya yang lain. Dalam kontak sosial budaya ini sering kali terjadi pergeseran bahkan benturan antar budaya. Kondisi ini bisa berpengaruh terhadap cara berpikir dan berperilaku individu. Bagi individu yang belum matang tingkat perkembangannya, mereka bisa terbawa arus pada sistem tata nilai yang bertentangan dengan tata nilai yang dianutnya selama ini. Pada kondisi ini, individu bisa mengalami kegamangan, bahkan kebingungan. Pembimbing atau konselor bisa menjadi sosok alternatif untuk membantu individu mengatasi pesoalan ini.

Ilmu pengetahuan dan teknologi berpengaruh besar terhadap kehidupan dan perilaku individu. Ilmu pengetahuan dan teknologi menawarkan berbagai kemudahan dalam kehidupan. Akan tetapi, di balik kemudahan yang ditawarkan juga menuntut life kost yang tinggi. Sementara itu, tidak semua orang mempunyai akses yang baik terhadap sumber-sumber material yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan yang ditawarkan oleh kemajuan ilmu dan teknologi tersebut. Akibatnya, manusia bisa mengalami penurunan kualitas kemanusiaannya. Dalam situasi seperti ini individu memerlukan pendampingan secara psikologis agar mereka siap untuk mengarungi hidup tanpa harus “dipermainkan” oleh tawaran kemudahan yang diberikan oleh ilmu pengetahuan dan teknoloi tanpa mengindahkan sisi dalam kemanusiaannya.

Demokratisasi dan perluasan kesempatan dan rogram pendidikan berdampak pada terbukanya kesempatan bagi semua lapisan masyarakat untuk mengenyam pendidikan setingi-tingginya. Dalam prosesnya, setiap individu memerlukan bimbingan agar pendidikan yang dijalaninya bisa berjalan dengan sempurna dan sesuai dengan bakat dan minatnya, serta kebutuhan dunia kerja. Hal ini penting, karena pendidikan yang tidak sesuai dengan bakat dan minat tidak bisa dijalani secara penuh. Sementara pendidikan yang tidak sesuai dengan dunia kerja, juga akan mengalami hambatan ketika individu tersebut memerlukan aktualisasi diri dalam dunia kerja. Lagi-lagi, pembimbing dan konselor sangat besar perannya untuk membantu individu mengatasi persoalan ini.

A. Pengertian Bimbingan dan Konseling

Secara etimologi kata bimbingan merupakan terjemahan dari kata ”guidance”, berasal dari kata kerja ”to guide” yang mempunyai arti ”menunjukkan, membimbing, menuntun, dan membantu”. Sesuai dengan istilahnya, secara umum bimbingan dapat diartikan sebagai suatu bantuan dan tuntunan.

Menurut Natawidjaya (1987: 31), yang dimaksud dengan bimbingan adalah proses pemberian bantuan kepada individu yang dilakukan secara berkesinambungan, supaya individu tersebut dapat memahami dirinya, sehingga ia sanggup mengarahkan diri dan bertindak wajar sesuai dengan tuntunan dan keadaan lingkungan sekolah, keluarga dan masyarakat. Hallen, (2002: 9), mengartikan bimbingan sebagai sebuah proses pemberian bantuan yang telah dipersiapkan kepada individu yang membutuhkan dalam rangka mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya secara optimal dengan menggunakan berbagai macam media dan teknik bimbingan dalam suasana asuhan yang normatif agar tercapai kemandirian sehingga individu dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri maupun bagi lingkungannya.

Ahli lain, Surya (1975: 26), mengatakan bahwa bimbingan adalah bantuan yang diberikan kepada individu yang memerlukan dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Hanya saja, dalam kesempatan yang berbeda, Surya (1988: 31) mengatakan bahwa tidak semua bentuk bantuan dapat dikatakan sebagai sebuah bimbingan dalam pengertian khusus. Bimbingan dalam pengertian khusus yang dimaksudkan adalah proses bimbngan yang dilakukan oleh tenaga pembimbing yang profesional.

Sedangkan berdasarkan pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 1990, “Bimbingan merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa dalam rangka upaya menemukan pribadi, mengenali lingkungan dan merencanakan masa depan”.

Dari beberapa pendapat di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

a. Bimbingan merupakan suatu proses bantuan yang diberikan kepada individu.

b. Bantuan tersebut diberikan agar individu dapat berkembang secara optimal.

c. Bimbingan mengandung pengertian mendengarkan secara aktif, membantu, menunjukkan jalan, memimpin, memberikan nasehat, memberikan pengarahan.

d. Bimbingan diberikan secara sistematis dan berkesinambungan untuk mencapai suatu tujuan.

e. Bimbingan diberikan oleh tenaga profesional, memiliki kepribadian yang menarik dan menguasai teknik-teknik bimbingan.

Dalam operasionalisasinya, istilah bimbingan selalu berdampingan dengan konseling. Istilah konseling berasal dari bahasa Inggris ”to consul” yang secara etimologi berarti ”to give advice” atau memberi saran dan nasihat. Istilah bimbingan selalu dirangkaikan dengan istilah konseling. Hal ini disebabkan karena bimbingan dan konseling merupakan alat yang paling penting dari usaha pelayanan bimbingan.

Shertzer dan Stone (1980) melalui hasil pembahasannya terhadap berbagai definisi konseling yang ditemuinya, mereka sampai pada kesimpulan sebagai berikut: ”Counseling is an interaction process which facilitates meaningfull understanding of self and invironment and result in the establishment and/or clarification of goals and values of future behavior”. Menurut Surya (1975: 29), konseling adalah merupakan salah satu teknik pelayanan dalam bimbingan secara keseluruhan yaitu dengan memberikan secara individual (face to face relationship). Sedangkan Hallen (2002: 11), mengartikan konseling sebagai sebuah proses pemberian bantuan yang berlangsung melalui wawancara dalam serangkaian pertemuan langsung dan tatap muka antara guru pembimbing/konselor dengan klien dengan tujuan agar klien itu mampu memperoleh pemahaman yang lebih baik terhadap dirinya, mampu mengarahkan dirinya untuk mengembangkan potensi yang dimiliki ke arah perkembangan yang optimal, sehingga ia dapat mencapai kebahagiaan pribadi dan kemanfaatan sosial.

Senada dengan beberapa pengertian di atas, Nurihsan (2006: 10) mengartikan konseling sebagai sebuah upaya yang dilakukan untuk membantu individu melaui proses interaksi yang bersifat pribadi antara konselor dan konseli agar konseli mampu memahami diri dan lingkungannya, mampu membuat keputusan dan menentukan tujuan berdasarkan nilai yang diyakininya sehingga konseli merasa bahagia dan efektif perilakunya.

Sementara itu, organisasi tempat bernaungnya para konselor sekolah di Amerika Serikat, American School Counselor Association (ASCA) mendefisikan konseling sebagai berikut: “Counseling is a special type of helping process implemented by a professionally trained and certified person, involving a variety of tecniques and strategiest that help student explore academic, career and personal/social development that promote academic achievement and meet developmental needs”.

B. Sejarah Bimbingan dan Konseling

1. Sejarah Bimbingan dan Konseling di Amerika

Sebagai sebuah profesi khusus, Bimbingan dan Konseling Sekolah bisa dikatakan relative baru. Berbagai peristiwa yang menandai lahirnya profesi ini, sebagaimana dilaporkan oleh Muro dan Kottman (1995: 2-4) setidaknya dapat disarikan sebagai berikut :

Konseling mulai muncul ketika Jesse B. Davis memulai profesi sebagai konselor di sebuah sekolah menengah di Detroit sekitar tahun 1898. Pengembangan program bimbingan di sekolahnya lebih pesat ketika tahun 1907 dia diangkat menjadi kepala sekolah SMA di Grand Rapids, Michigan. Di saat yang sama, perkembangan konseling mulai merambah ke daerah lain di Amerika Serikat. Eli Weaver, memperluas layanan Bimbingan dan Konseling Karier di Kota New York, dan Frank Goodwin mengembangkan sytem bimbingan di Cincinnati, Ohio. Kemudian, Frank Parson (1908) mendirikan Vocational Bureau di Boston dalam rangka membantu para remaja memilih pekerjaan yang cocok bagi mereka. Pada tahun 1910 William Healy mendirikan Juvenile Psychopathic Institut di Chicago. Pada tahun 1911 Harvard University memberikan kuliah konseling. Selanjutnya tahun 1913 secara resmi berdiri National Vocational Guidence Assosiation di Grand Rapids.

Setelah tahun 50-an perkembangan konseling menjadi sangat pesat, dengan ditandai berdirinya berbagai asosiasi yang mengorganisasikan profesi ini secara professional. Mula-mula berdiri American Personnel and Guidance Association (APGA) tahun 1952. pada perkembangan selanjutnya, lembaga ini berubah nama tahun 1983 menjadi American Association for Counseling and Development (AACD). Sebagai sebuah lembaga yang emmayungi semua organisasi konselor di Amerika kini telah mempunyai banyak devisi. Salah satu devisi tersebut adalah American School Counselor Association (ASCA). ASCA kini dalam melaksanakan fungsinya sebagai regulator pelaksanaan bimbingan dan konseling di sekolah telah mempunyai model layanan yang komprehensif yang bernama The National Model for Scholl Counseling Program. Model ini merupakan acuan bagi semua konselor sekolah di Amerika Serikat dalam melaksanakan tugas dan fungsinya untuk membantu siswa selama karir sekolah mereka.

2. Sejarah Bimbingan dan Konseling di Indonesia

Sejarah perkembangan Bimbingan dan Konseling di Indonesia dimulai dari dunia pendidikan, yaitu pada dekade 1960-an. Tonggak kelahirannya adalah dengan dilaksana kannya layanan bimbingan di beberapa sekolah dengan konsentrasi pada layanan akademik. Pada tahun 1962 dilakukan perubahan kurikulum, khususnya pada level Sekolah Menengeh Atas (SMA) yaitu dengan lahirnya kurikulum SMA Gaya Baru. Dalam kurikulum tersebut tercantum kewajiban pengelola sekolah untuk melaksanakan program bimbingan dan penyuluhan.

Munculnya kebijakan baru ini, menurut Yusuf dan Nurihsan (2005: 95) disambut dengan berbagai aktivitas penyiapan sarana dan prasarana layanan bimbingan dan penyuluhan, mulai dari rapat kerja, penataran dan lokakarya. Puncak dari usaha ini adalah didirikannya jurusan Bimbingan dan Penyuluhan di Fakultas Ilmu Pendidikan di IKIP Negeri di beberapa daerah di Indonesia.

Tonggak berikutnya adalah saat diperkenalkannya gagasan Sekolah Pembangunan pada tahun 1970/1971. Ide dasar dari kebijakan yang tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0199/0/1973 ini adalah peralihan dari sistem persekolahan lama menjadi Sekolah Pembangunan. Pada sistem persekolahan baru ini, layanan Bimbingan dan Konseling menjadi lebih terarah. Ini terbukti telah dikembangkannya Program Bimbinan dan Penyulhan Sekolah Menengah Pembangunan Persiapan oleh Badan Pengembangan Pendidikan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam praktiknya, pelaksanaan sistem sekolah pembangunan tersebut dilakukan melalui Proyek Perintis Sekolah Pembangunan yang diujicobakan di delapan IKIP di Indonesia, antaranya IKIP Jakarta (Universitas Negeri Jakarta, sekarang) dan IKIP Bandung (Universitas Pendidikan Indonesia, sekarang). Secara formal, Bimbingan dan Konseling diprogramkan di sekolah sejak diberlakukannya kurikulum 1975, karena di dalamnya termaktub bahwa layanan Bimbingan dan Penyulhan merupakan bagian integral dari proses pendidikan di sekolah.

Tonggak sejarah berikutnya yang sangat penting dalam konteks keorganisasian konselor adalah didirikannya Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) pada thun 1975 di Malang. Dengan berdirinya organisasi ini layanan Bimbingan dan Penyuluhan lebih terarah, karena segala persoalan yang muncul dalam dunia Bimbingan dan Penyuluhan akan dibicarakan dan dicarikan solusinya.

Di era tahun 1980-an, perkembangan Bimbingan dan Konselng juga menunjukkan kemajuan yang luar biasa. Pada tahun 1984 dilakukan perbaikan kurikulum, yaitu dengan pemberlakuan kurikulum 1984. dalam contents kurikulum tersebut telah dimasukkan Bimbingan Karier. Perkembangan berikutnya adalah dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa: “penidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau letihan bagi peranannya di masa yang akan datang”. Posisi ini deprtkuat dengan dikeluarkannya Perarturan Pemerintah No. 28 tahun 1990 dan Perarturan Pemerintah Nomor 29 tahun 1990. dalam kedua PP tersebut disebutkan bahwa: “Bimbingan merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa dalam rangka upaya menemukan pribadi, mengenal lingkungan, dan merencanakan masa depan”.

Penataan bimbingan terus dilakukan dengan dikeluarkannya SK Menpan No. 84/1993 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Pada pasal 3 disebutkan bahwa tugas pokok guru adalah menyusun program bimbingan, melaksanakan program bimbingan, evaluasi program bimbingan, analisis hasil pelaksanaan bimbingan, dan tindak lanjut dalam program bimbingan terhadap pserta didik yang menjadi tanggung jawabnya. Pada tahun yang sama keluar Surat Keputusan Bersama Mendikbud dan Kepala BAKN No. 0433/P/1993 dan No. 26 tahun 1993 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Khusus yang terkait dengan layanan Bimbingan dan Konseling di sekolah disebutkan pada Bab III Pasal 4 Ayat 1, 2 dan 3 sebagai berikut:

a. Standar Prestasi Kerja Guru Pratama sampai Guru Dewasa Tingkat I dalam melaksanakan PBM atau Bimbingan meliputi:

1) Persiapan progran pengajaran atau praktik atau Bimbingan dan Konselng (BK).

2) Penyajian progran pengajaran atau praktik atau Bimbingan dan Konselng (BK).

3) Evaluasi progran pengajaran atau praktik atau Bimbingan dan Konselng (BK).

b. Standar Prestasi Kerja Guru Pembina sampai Guru Utama selain tersebut pada pasal 1 ditambah:

1) Analisis hasil progran pengajaran atau praktik atau Bimbingan dan Konselng (BK).

2) Penyusunan program perbaikan dan pengayaan atau tindak lanjut pelaksanaan progran pengajaran atau praktik atau Bimbingan dan Konselng (BK).

3) Pengembangan profesi dengan angka kredir sekurang-kurangnya 12 (dua belas).

Babak baru dalam sejarah perkembangan profesi konselor di Indonesia terjadi saat Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) berubah nama menjadi Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN) pada tahun 2001. Perubahan nama ini sebagai wujud dari upaya menjadikan Bimbingan dan Konseling sebagai profesi yang dikenal dan mendapat pengakuan publik, bahkan mengacu pada standar profesi konseling secara internasional.

Perkembangan berkutnya, pada tahun 2005, Pengurus Besar ABKIN telah mengeluarkan dokumen Standar Kompetensi Konselor Indonesia. Selain itu, saat ini sedang dirintis penyelenggaraan dan pemenuhan berbagai persyaratan “keprofesian” konselor seperti uji kompetensi, sertifikasi, pemberian lisensi, termasuk juga rintisan penyelenggaraan pendidikan profesi.

C. Tujuan Bimbingan dan Konseling

Bimbingan dan Konseling bertujuan agar peserta didik dapat menemukan dirinya, mengenal dirinya dan mampu merencanakan masa depannya. Menurut Surya, tujuan konseling adalah suatu proses bantuan yang diberikan konselor kepada klien untuk menghasilkan perubahan perilaku yang memungkinkan bagi konseli untuk hidup lebih produktif.

Secara umum tujuan konseling ada 5, yaitu :

a. Perubahan perilaku, yaitu klien menjadi produktif serta terus mengembangkan sikap inovatif, dinamis dan proaktif. Selain itu klien diharapkan memiliki orientasi masa depan.

b. Kesehatan mental yang positif, yaitu memiliki jiwa yang sehat dan bisa hidup bersama orang lain serta mematuhi segala norma-norma yang berlaku di lingkungan tempat ia tinggal.

c. Pemecahan masalah, tujuan konseling pada dasarnya dianggap salah satu orientasi dari pemecahan masalah dalam hal perubahan-perubahan perilaku dan perubahan-perubahan pemikiran.

d. Keefektifan personal, yaitu kepribadian yang efektif, memiliki keberanian mengambil resiko, memiliki kompetensi dan merupakan orang yang konsisten.

e. Pengambilan keputusan, inti dari konseling adalah memungkinkan individu mengambil keputusan-keputusan dalam hal-hal yang sangat penting bagi dirinya.

Sementara itu, McLoed (2006: 13-14) mengemukakan tujuan konseling dengan mempertimbangkan berbagai teori dan pendekatan yang ada. Dalam hal ini, menurut McLoed tujuan yang harus dicapai dalam kegiatan konseling adalah sebagai berikut:

1. Pemahaman. Adanya pemahaman terhadap akar dan perkembangan kesulitan emosional, mengarah pada peningkatan kapasitas untuk lebih memilih kontrol rasional ketimbang perasaan dan tindakan. Mengutip pendapat Frued: “were id was, shall ego be” [Di mana ada id, maka di situ ada ego].

2. Berhubungan dengan orang lain. Menjadi lebih mampu membentuk dan mempertahankan hubungan bermakna dan memuaskan dengan orang lain; misalnya, dalam keluarga atau di tempat kerja.

3. Kesadaran diri. Menjadi lebih peka terhadap pemikiran dan perasaan yang selama ini ditahan atau ditolak, atau mengembangkan perasaan yang lebih akurat berkenaan dengan bagaimana penerimaan orang lain terhadap dirinya.

4. Penerimaan diri. Pengembangan sikap positif terhadap diri, yang ditandai oleh kemampuan menjelaskan pengalaman yang selalu menjadi subyek kritik diri dan penolakan.

Selain itu, Downing (1968) juga mengemukakan bahwa tujuan bimbingan di sekolah sebenarnya sama dengan pendidikan terhadap diri sendiri yaitu membantu para siswa agar dapat memenuhi kebutuhan sosial psikologis mereka, merealisasikan keinginannya serta mengembangkan kemampuan potensinya. Secara umum dapat dikemukakan bahwa tujuan layanan bimbingan konseling adalah membantu mengatasi berbagai macam kesulitan yang dihadapi siswa sehingga terjadi proses belajar mengajar yang efektif dan efisien.

Bimbingan memiliki tujuan yang terdiri atas tujuan umum dan tujuan akhir. Tujuan umum bimbingan dan konseling membantu individu agar dapat mencapai perkembangan secara optimal sesuai dengan bakat, kemampuan, minat dan nilai-nilai serta terpecahkan masalah-masalah. Bimbingan dan konseling bertujuan agar peserta didik dapat menemukan dirinya, mengenal dirinya dan mampu merencanakan masa depannya. Tujuan akhir bimbingan dan konseling adalah membantu individu agar dapat mandiri dengan ciri-ciri mampu memahami dan menerima dirinya sendiri serta lingkungannya, membuat keputusan dan rencana yang realistik, mengarahkan diri sendiri dengan keputusan dan rencananya itu serta pada akhirnya mewujudkan sendiri rencana tersebut. Tujuan khusus bimbingan dan konseling terkait pada arah perkembangan klien dan masalah-masalah yang dihadapi.

D. Ruang Lingkup Bimbingan Konseling

Menurut Sukardi (1993), layanan bimbingan dan konseling di sekolah mempunyai ruang lingkup yang luas. Ruang lingkup bimbingan dan konseling di sekolah meliputi dari segi fungsi, sasaran, layanan, dan masalah.

1. Segi fungsi, berfungsi untuk pencegahan, pengembangan, penyaluran, penyesuaian dan perbaikan.

2. Segi sasaran dengan tujuan agar siswa secara individual mencapai perkembangan optimal melalui pengungkapan, pengenalan, pengambilan, keputusan, pengarahan diri dan perwujudan diri.

3. Segi layanan, meliputi :

  1. Pengumpulan data, tujuannya adalah untuk memperoleh data obyektif dan selengkap-lengkapnya tentang individu siswa dan lingkungannya.
  2. Orientasi dan penyajian informasi, merupakan suatu bentuk layanan dalam memberikan sejumlah informasi kepada siswa.
  3. Penyuluhan, merupakan suatu bentuk layanan kepada siswa yang menghadapi masalah pribadi melalui teknik penyuluhan dan teknik pemberian bantuan yang lain.
  4. Penempatan, merupakan suatu bentuk layanan untuk membantu siswa agar memperoleh wadah yang sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
  5. Alih tangan, suatu bentuk layanan untuk melimpahkan kepada pihak yang lebih berkompeten apabila masalah yang dihadapi di luar kemampuan dan kewenangan petugas pemberi bantuan.
  6. Penilaian dan tindak lanjut, bentuk layanan untuk keberhasilan upaya bimbingan yang telah diberikan.

4. Segi masalah, meliputi:

  1. Bimbingan pendidikan merupakan upaya bimbingan dalam membantu siswa menghadapi masalah-masalah pendidikan.
  2. Bimbingan Karier adalah upaya bantuan dalam pemahaman diri, nilai, lingkungan, mengatasi hambatan dan perencanaan masa depan.
  3. Bimbingan sosial-pribadi-emosional merupakan usaha bimbingan dalam membantu menghadapi dan memecahkan masalah sosial-pribadi-emosional.

Pelayanan bimbingan konseling mempunyai tiga orientasi. Di sekolah, pelayanan bimbingan konseling merupakan pelayanan bidang pokok di samping dua bidang pelayanan lainnya, yaitu bidang pelayanan kurikulum dan pengajaran serta bidang administrasi dan pengelolaan. Pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah memberikan pengertian utama dan menyelenggarakan pelayanan yang secukup-cukupnya untuk para siswa agar mereka mampu berkembang dan belajar secara optimal. Konselor sekolah merupakan tenaga utama dalam pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah itu. Dalam menjalankan tugasnya konselor sekolah memiliki dan mewujudkan tanggung jawabnya kepada siswa, orang tua, sejawat, masyarakat, diri sendiri, dan profesi.

Di luar sekolah, pelayanan bimbingan dan konseling diselenggarakan dalam berbagai bidang kehidupan, seperti konseling keluarga, konseling perkawinan, konseling keagamaan dan lain-lain. Sebagaimana disebutkan dalam Standar Kompetensi Konselor Indonesia (ABKIN, 2005) bahwa layanan konseling mempunyai wilayah layanan kekhususan, yaitu konseling sekolah, konseling perkawinan, konseling karir, konseling rahabilitasi, konseling kesehatan mental, dan konseling traumatik. Perluasan wilayah layanan ini dimaksudkan agar profesi konselor dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat secara lebih luas.

E. Prinsip-Prinsip Bimbingan dan Konseling

Menurut Hallen (2002: 63-65), prinsip dapat diartikan sebagai permulaan yang dengan suatu cara tertentu melahirkan hal-hal lain, yang keberadaannya tergantung dari pemula itu. Prinsip bimbingan dan konseling adalah seperangkat landasan praktis atau aturan main yang harus diikuti dalam pelaksanaan program pelayanan bimbingan dan konseling.

Menurut Prayitno dan Amti rumusan prinsip-prinsip bimbingan dan konseling pada umumnya berkenaan dengan sasaran pelayanan, masalah klien, tujuan dan proses penanganan masalah, program pelayanan dan penyelenggaraan pelayanan.

2. Prinsip-prinsip yang berkenaan dengan sasaran layanan

a. Bimbingan dan konseling melayani semua individu tanpa memandang umur, jenis kelamin, suku, agama dan status sosial ekonomi.

b. Bimbingan dan konseling berurusan dengan pribadi dan tingkah laku individu yang unik dan dinamis.

c. Bimbingan dan konseling memperhatikan dan sepenuhnya tahap-tahap dan berbagai aspek perkembangan individu.

d. Bimbingan dan konseling memberikan perhatian utama kepada perbedaan individual yang menjadi orientasi pokok pelayanannya.

3. Prinsip yang berkenaan dengan permasalahan individu:

a. Bimbingan dan konseling berurusan dengan hal-hal yang menyangkut pengaruh kondisi mental/fisik individu terhadap penyesuaian dirinya di rumah, sekolah, serta dalam kaitannya dengan kontak sosial dan pekerjaan dan sebaliknya pengaruh lingkungan terhadap kondisi mental dan fisik individu.

b. Kesenjangan sosial, ekonomi dan kebudayaan merupakan faktor timbulnya masalah pada individu yang kesemuanya menjadi perhatian utama pelayanan bimbingan dan konseling.

4. Prinsip yang berkenaan dengan program pelayanan

a. Bimbingan dan konseling merupakan bagian integral dari upaya pendidikan dan pengembangan individu, oleh karena itu program bimbingan dan konseling harus diselaraskan dan dipadukan dengan program pendidikan serta pengembangan anak didik.

b. Program bimbingan dan konseling harus fleksibel disesuaikan kebutuhan individu, masyarakat dan kondisi lembaga.

c. Program bimbingan dan konseling disusun secara berkelanjutan dari jenjang pendidikan terendah sampai tertinggi.

5. Prinsip-prinsip berkenaan dengan tujuan dan pelaksanaan pelayanan

a. Bimbingan dan konseling harus diarahkan untuk perkembangan individu yang akhirnya mampu membimbing diri sendiri dalam menghadapi permasalahannya.

b. Proses bimbingan dan konseling diambil dan dilakukan oleh individu dan hendaknya atas kemauan individu itu sendiri.

c. Permasalahan individu harus ditangani oleh tenaga ahli dalam bidang yang relevan dengan permasalahan yang dihadapi.

d. Kerjasama antara guru pembimbing dan orang tua anak sangat menentukan hasil layanan bimbingan.

e. Pengembangan program pelayanan bimbingan dan konseling ditempuh melalui pemanfaatan yang maksimal dari hasil pengukuran dan penilaian terhadap individu yang terlibat dalam proses pelayanan dan program bimbingan dan konseling itu sendiri.

F. Asas-Asas Bimbingan dan Konseling

Menurut Hallen (2002: 65-74), asas adalah segala hal yang harus dipenuhi dalam melaksanakan suatu kegiatan, agar kegiatan tersebut dapat terlaksana dengan baik serta mendapatkan hasil yang memuaskan. Sesuai dengan tuntutan keilmuan dan prosedur pelaksanaannya, bimbingan dan konseling diselenggarakan menurut beberapa asas. Menurut Prayitno ada hal-hal yang harus menjadi dasar pertimbangan dalam kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling. Asas-asas bimbingan dan konseling itu adalah :

1. Asas kerahasiaan

Dalam kegiatan bimbingan dan konseling, kadang-kadang klien harus menyampaikan hal-hal yang sangat pribadi/rahasia kepada konselor. Konselor harus menjaga kerahasiaan data yang diperolehnya dari kliennya.

2. Asas kesukarelaan

Konselor mempunyai peran utama dalam mewujudkan asas kesukarelaan ini. Konselor harus mampu mencerminkan asas ini dalam menerima klien.

3. Asas keterbukaan

Asas keterbukaan merupakan asas penting bagi konselor/guru pembimbing. Dengan adanya keterbukaan ini dapat ditumbuhkan kecenderungan pada klien untuk membuka dirinya, untuk membuka kedok hidupnya yang menjadi penghalang bagi perkembangan psikisnya. Seperti dikatakan oleh Truax dan Carkhuff menyimpulkan bahwa ”Ada hubungan yang erat antara keterbukaan konselor dan kemampuan klien membuka diri (self eksplonation)”.

4. Asas kekinian

Permasalahan yang dihadapi klien sering bersumber dari rasa penyesalannya terhadap apa yang terjadi pada masa lalu dan kekhawatiran dalam menghadapi apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang, sehingga ia lupa dengan apa yang harus dan dapat dikerjakannya pada saat ini.

5. Asas kemandirian

Asas kemandirian ini bertujuan agar konselor berusaha menghidupkan kemandirian di dalam diri klien.

6. Asas kegiatan

Dalam pelayanan bimbingan dan konseling kadang-kadang konselor memberikan beberapa tugas dan kegiatan kepada kliennya, dalam hal ini klien harus mampu melakukannya sendiri agar tercapainya tujuan bimbingan dan konseling yang telah ditetapkan.

7. Asas kedinamisan

Keberhasilan usaha pelayanan bimbingan dan konseling ditandai dengan terjadinya perubahan sikap dan tingkah laku klien ke arah yang lebih baik. Untuk menentukan ini semua dibutuhkan waktu sesuai dengan kedalaman dan kerumitan masalah yang dihadapi klien.

8. Asas keterpaduan

Pelayanan bimbingan dan konseling menghendaki terjalin keterpaduan berbagai aspek dari individu yang dibimbing.

9. Asas kenormatifan

Pelayanan bimbingan dan konseling yang dilakukan hendaknya tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat dan lingkungannya.

10. Asas keahlian

Untuk menjamin usaha bimbingan dan konseling, para petugas harus mendapatkan pendidikan dan latihan yang memadai.

11. Asas alih tangan

Apabila konselor belum dapat mengatasi masalah klien karena konselor juga terbatas pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya maka konselor perlu mengalihtangankan klien kepada pihak lain yang lebih ahli untuk menangani masalah yang sedang dihadapi oleh klien tersebut.

12. Asas Tut Wuri Handayani

Sebagaimana yang telah dipahami dalam bimbingan dan konseling bahwa bimbingan dan konseling ini merupakan kegiatan yang dilakukan secara sistematis, sengaja, berencana, terus menerus dan terarah kepada suatu tujuan. Oleh karena itu kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling tidak hanya dirasakan adanya pada saat klien mengalami masalah dan menghadapkannya pada konselor/guru pembimbing saja.

G. Fungsi Bimbingan dan Konseling

Ditinjau dari segi sifatnya, kegunaan dan manfaat layanan bimbingan dan konseling mempunyai tujuh fungsi, yaitu :

1. Fungsi preventif (pencegahan), artinya merupakan usaha pencegahan terhadap timbulnya masalah.

2. Fungsi penyaluran, dalam fungsi ini layanan dapat diberikan, misalnya mengembangkan bakat dan minat atau perlu dibantu mendapatkan kesempatan penyaluran pribadinya masing-masing.

3. Fungsi penyesuaian, maksudnya membantu terciptanya penyesuaian antara siswa dan lingkungannya.

4. Fungsi perbaikan, berperan memberikan bantuan bimbingan dan berusaha memecahkan masalah-masalah yang dihadapi siswa.

5. Fungsi pengembangan, layanan bimbingan yang dapat diberikan dapat membantu para siswa dalam mengembangkan keseluruhan pribadinya secara terarah dan mantap.

6. Fungsi advokasi (pembelaan), yaitu fungsi bimbingan dan konseling yang akan menghasilkan teradvokasi atau pembelaan terhadap peserta didik dalam rangka upaya pengembangan seluruh potensi secara optimal.

7. Fungsi pemahaman, yaitu bimbingan dan konseling yang akan menghasilkan pemahaman tentang sesuatu oleh pihak-pihak tertentu sesuai dengan kepentingan pengembangan peserta didik.

H. Kedudukan Bimbingan dan Konseling dalam Sistem Pendidikan Nasional

Dalam prosesnya, pelaksanaan pendidikan harus mampu mensinergikan tiga bidang utama, yaitu bidang administratif dan kepemimpinan, bidang pembelajaran dan kurikuler dan bidang pembinaan siswa (bimbingan dan konseling). Pelaksanaan pendidikan yang hanya terpaku pada pelaksanaan adminstrasi dan pembelajaran dengan mengabaikan layanan pembinaan siswa (bimbingan) menurut Kartadinata (Syamsu dan Nurihsan, 2005: 4), hanya akan melahirkan individu yang pintar dan terampil dalam aspek akademik, tetapi kurang memiliki kemampuan atau kematangan dalam aspek psikososiospiritual.

Dalam Standar Kompetensi Konselor Indonesi (ABKIN, 2005: 6) disebutkan bahwa identitas profesi Bimbingan dan Konseling secara keilmuan, terletak pada wilayah keilmuan normatif, dengan fokus kajian utamanya adalah bagaimana memfasilitasi dan membawa manusia berkembang dari kondisi apa adanya (what it is) kepada bagaimana seharusnya (what should be). Layanan Bimbingan dan Konseling adalah layanan psikologis dalam suasana pedagogis, dia adalah layanan psikopedagogis, dalam seting persekolahan maupun luar sekolah, dalam konteks kultur, nilai dan religi yang diyakini klien dan konselor.

Khusus terkait dengan layanan Bimbingan dan Konseling dalam seting persekolahan, dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional desebutkan bahwa pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widya iswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan (pasal 1 ayat 6). Dengan demikian, jelas bahwa profesi konselor merupakan bagian integral dengan profesi kependidikan dalam sistem pendidikan Indonesia. Itulah sebabnya, keberadaan jurusan Bimbingan dan Konseling dalam sistem pendidikan, khususnya di Perguruan Tinggi Umum, selalu berada dalam Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK).